Monday, May 31, 2010

Cerpen: Finilalu Fidididu...

Aku melantunkan nada-nada lembut itu lagi...

Finilalu Fidididu, alumina diadilu...
Lubiubu. Sibiduri. Babamina. Ahiliu...

Kalimat-kalimat yang kulantunkan tak memiliki arti khusus. Hanya sebagai pengganti lirik saja. Dan aku sangat menyukai kalimat itu. Menyenangkan untuk dilantunkan dan terkadang bisa menjadi pengganti berbagai lirik yang ada di kepalaku. Saat aku sedih, Finilalu Fidididu akan melantun dengan sedih dan hanya bisa kumengerti sendiri, sedangkan, saat aku senang, Finilalu Fidididu akan melantun dengan cepat dan semangat.

Sudah seminggu sejak aku mulai melantunkan Finilalu Fidididu. Beberapa hari itu sangat bahagia, kesedihan sesaat tidak terasa, sehingga aku mulai melupakan Finilalu Fidididu yang sendu. Finilalu Fidididu, aku melantunkannya dengan bahagia.

Tapi, hari ini lain. dia diam di sana. Tidak memberi kata sapa dan tidak mengindahkan aku. Aku sadar akan hal tersebut, bulu kudukku merinding. Dia marah. Aku yakin, tidak akan memberi kata maaf dalam waktu yang singkat.

Aku tidak yakin memang dia sedang mengalami hari yang kurang baik, atau memang dia marah. Yang jelas dia menghindariku, bahkan menganggapku tidak ada. Tragis bukan?

Mungkin dia tidak sadar, dari matanya aku belajar tentang dirinya. Dia itu sadis, ya sangat sadis. Dia itu menyakitkan, oh ya??? Iya. Tidak akan aku berbohong. Dia tahu, dan aku pun tahu, bahkan semua orang tahu! Aku pernah berhubungan baik dengannya, namun kadang tampaknya tidak. Karena, kami berbeda.

Tapi, bukankah dalam berhubungan dengan semua orang, kita harus bisa menerima perbedaan? Dan apa gunanya apabila berhubungan tapi hati masih tertutup rapat? Kuncinya ada dimana dan bisakah ditemukan?
Kalau menginginkan sesuatu yang sempurna, janganlah berharap. Karena itu tidak mungkin, itu hanya khayalan. Tapi, untuk mendapatkan sesuatu yang mau menerima diri sendiri apa adanya, bukankah itu hal yang sangat sempurna?

Aku pura-pura tidak tahu kalau ia menatapku dengan kesal. Kulantunkan Finilalu Fidididu. Dia tidak tahu, namun nadanya sendu. Kerongkonganku terasa sangat kering ketika melantunkan Finilalu Fidididu yang sendu itu. Kuharap dia tidak tahu. Kuharap dia tidak mengerti.

Lalu, kutengadahkan kepalaku, kalau-kalau mataku yang berkaca-kaca mulai meneteskan air mata...

Finilalu Fidididu, lialia aelesina...
Asterias. Kabifatu. Furidian. Diribidu...
Saisader emistagu...

Dia segera berlalu dari pengelihatanku. Mataku memanas dan mulai buram pengelihatanku.

Hihihi... Dia jatuh juga. Sudah kutahan dan sudah kuusap dengan keras, namun dia masih memaksa untuk jatuh bergulir di pipiku.

Segera kulanjutkan melantunkan Finilalu Fidididu yang sendu itu dengan penuh harap, bahwa sosoknya yang telah hilang itu akan berbalik dan tersenyum lembut di hadapanku.


Chelsea Vanessa
Monday, May 31, 2010
3:40 PM

No comments:

Post a Comment