Monday, May 17, 2010

Cerpen: Laksana Matahari


Dia begitu cemerlang, terang dan bersinar. Aku tidak pernah menyangka dia bisa hadir di depanku. Tepat di depan mataku. Bayi kecil itu diperlihatkan kepadaku oleh para suster yang tersenyum ramah dan bahagia. Dokter terlihat lega setelah mengamati bayi kecil yang nampak sempurna itu. Adikku. Adik kecil yang lucu dan agak keriput. Kata dokter, semua anak bayi yang baru lahir memang begitu, kalau sudah agak lama, barulah mereka akan terlihat sangat lucu. Bagiku, biarpun agak keriput, namun bayi kecil di hadapanku ini telah sangat sempurna dan lucu.


Akhirnya, setelah menunggu lebih dari tujuh tahun, aku menjadi seorang kakak. Saat ini aku berumur sembilan tahun. Ibuku melahirkan untuk kedua kalinya. Sesudah aku lahir, dokter-dokter telah mengatakan bahwa ibu tak mungkin hamil lagi dan aku, sangat sedih ketika tahu bahwa aku takkan punya adik. Namun, dokter-dokter itu salah. Ibuku hamil lagi setelah lewat tujuh tahun. Dan sekarang, adikku lahir. Dia tampak lucu, sehat, dan mungkin mirip diriku.


Aku senang.


Bayi itu tertidur lelap setelah menangis hebat. Ayahku yang baru datang ke rumah sakit setelah bayi kecil dilahirkan langsung tampak cerah sumringah ketika ia melihat jiwa kecil itu tertidur lelap. Ayah lalu memelukku dan berkata, "Kamu seorang kakak sekarang, kamu harus sabar dan merawat adikmu dengan baik, ya?"


Aku mengangguk dengan semangat. Saat itu, aku belum tahu, bahwa menjadi seorang kakak berarti berbagi kasih sayang ayah dan ibu dengan adikku.


Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berlalu, dan dua tahun pun berlalu. Sekarang, adik kecil yang paling kusayang menjadi adik yang paling kubenci.


Dia suka merebut mainanku, merusakkannya, lalu pergi. Seolah-olah dia tidak berbuat apapun. Kubentak dia menangis, dan ibu... pasti membela dia. Kenapa sih ibu selalu membela dia??? Apa ibu lupa kalau aku juga anaknya?


Hari itu, sekali lagi aku dimarahi ibu karena menjambak rambut adikku yang merusak mainanku. Dari sejak adik masih bayi, aku sudah berusaha sabar seperti yang kujanjikan kepada ayah. Menurutku, aku kakak yang baik sampai saat adik kecilku, Kiki sudah boleh memegang mainan. Sejak dia mulai menghancurkan segalanya, aku benci padanya.


Setelah ibu memarahiku, aku langsung lari ke kamarku, sendirian. Sekilas, kulihat ibu menggeleng-gelengkan kepalanya, namun tetap membiarkanku berlari menuju kamarku. Di dalam kamar aku menangis, tapi aku tak ingin seorang pun tahu. Kubekap mulutku dengan bantal supaya tidak seorang pun dapat mendengar tangisanku.


Kenapa selalu aku yang harus mengalah???


Tak lama setelah menangis, aku tertidur. Diriku terbangun karena ada ketukan di pintu. Dan kudengar suara ibu. "Ayo buka pintunya, sayang...," rayu ibu. Aku tidak ingin membukanya.


"Nggak. Sampai ibu adil sama aku!" teriakku sekencang-kencangnya.

"Kiki 'kan lebih kecil dari kamu, sayang...," sahut ibu.

"Tapi, bukan berarti aku dicurangin terus!" teriakku lagi.

"Ayo, buka, sayang... Ibu mau ngomong sebentar sama kamu," kata ibu, nadanya serius.


Aku tidak mau diganggu terus dan lagipula aku juga takut pada kemarahan ibu. Akhirnya, kuputuskan untuk membuka pintu kamarku. Kuputar kuncinya, dan kubuka pintu kamarku. Ibu langsung menghambur masuk dan segera memelukku. Aku kaget dan tidak mengerti maksud dari tindakannya. Jadi, aku diam saja.


"Ibu, bukannya curang. Tapi, adikmu masih kecil," kata ibu.

"Waktu aku kecil, ibu nggak begitu," kataku merajuk.

"Dulu 'kan kamu sendiri. Ayah dan ibu memberi semua waktu kami pada kamu, namun adikmu kan tidak bisa kami beri perhatian penuh karena ada kamu...," jawab ibu.

"Ibu bermaksud menyalahkanku?" tanyaku.

"Bukan begitu. Maksud ibu, ayah dan ibu harus memberi perhatian kepada kalian berdua, jadi tidak seperti kamu yang bisa mendapat kasih sayang ayah dan ibu secara penuh, adikmu harus mendapat perhatian yang agak kurang, karena lebih sulit untuk mengawasi banyak anak," jawab ibu.

Mungkin ibu tidak memberi penjelasan yang bagus, namun aku mengerti maksudnya.

"Tapi, adik 'kan juga dapat kasih sayang dari aku. Dulu aku nggak," jawabku.

Ibu tersenyum. "Iya, ya, ibu lupa kalau kamu juga memberi kasih sayang ke adik," sahut ibu.

Lalu aku dan ibu saling berpelukan. "Kamu memang anak matahari," sambung ibu sambil tertawa.

"Maksud ibu?" tanyaku.

"Kamu lahir ketika ibu baru saja memimpikan matahari..."


Kiki kecil masuk ke kamarku dan memelukku. Dia meminta maaf atas perbuatannya. Inilah pertama kalinya dia meminta maaf. Kurasa, aku akan mulai menikmati saat-saat bermain bersamanya!



Chelsea Vanessa

Saturday, 15 May 2010

10:55 PM

No comments:

Post a Comment