Wednesday, June 30, 2010

Sharing: Sang Legenda Membuatku Jatuh Cinta

Tanggal 30 Juni 2010, saya pergi ke TVRI untuk melihat acara "Untukmu Karyamu, Bung Ben" yang diselenggarakan untuk menapresiasi seni Betawi. Ada acara pantomim, ada juga acara yang disutradarai oleh Sys Ns. Pada awalnya saya sendiri juga kurang tahu apa acara yang diselenggarakan ini, tetapi, karena sedang magang di Kompas Muda, dan kelompok saya memutuskan meliput tentang kesenian dan budaya jadul, maka akhirnya saya pergi ke acara tersebut.

Awalnya, saya bahkan ingin mengusulkan hal lain, karena saya sama sekali tidak kenal medannya. Bagaimana bisa seorang reporter masuk ke medan yang tidak ia kenal sedikitpun??? Tentu tidak bisa. Hari itu kami memutuskan, hari itu juga ada acara tentang tokoh yang berkaitan yaitu Benyamin Sueb. Tentang acara ini kami dapatkan dari wartawan senior yang ada di Kompas, yang kemudian memberikan undangannya bagi kelompok kami.
Sampai di sana, saya benar-benar tidak tahu apa yang mau saya tanya kepada narasumber. Blank. Tentu sajalah, wong saya juga sama sekali tidak tahu siapapun di situ, kecuali beberapa yaitu Adi Bing Slamet, Rano Karno ( karena ada film Doel ), Paramitha Russady( krn pernah ketemu )., dan Anwar Fuady yang kelihatannya hanya sebagai penonton saja. Terus terang saya malu. Tapi ini memang mendadak dan tidak ada kesempatan research. Yang lebih perlu diketahui, saya bahkan tidak mengenal Benyamin Sueb.

Saya menganggap ini hal gila. Saya diharuskan bertanya pada narasumber tentang seseorang yang melegenda, harusnya at least saya punya sedikit bahan tentang dia. Tapi saya tidak tahu apapun. Ini gila, saya pikir. Tapi saya tidak berkata apapun pada teman tim, karena saya takut merusak suasana.

Kesempatan pertama saya untuk bertanya adalah saat mewawancarai Sys Ns. Sebelumnya, Mas Sys menepuk pundak saya, menawarkan bakso, saya cuma senyum, karena saya tidak tahu kalau dia itu Mas Sys, si sutradara. Terus saya tatap teman di depan saya dan tanya dengan bisik-bisik, "Itu siapa?" Dan setelah berusaha mendengar jawaban teman saya tahu namanya Mas Sys, saya ingat-ingat lagi undangan itu, kalau tidak salah yang menandatangani salah satunya adalah dia. Saya ambil undangan dari teman lalu saya lihat, dan saat itu saya tahu bahwa dia adalah sutradara acara ini, pantas saja menawarkan makanan-makanan.

Saya panggil teman-teman dan bilang kalau dia ini yang tandatangan di undangan dan adalah sutradara, akhirnya kami ramai-ramai memanggilnya dan dia bersedia kami wawancara.
Saya cuma bertanya satu pertanyaan kalau tidak salah. Saya merasa peran saya kurang, namun apa boleh buat, knowledge saya juga kan nol alias nothing at all. Dipaksa ya bisanya seadanya. Mau bilang ini bukan topik yang pas juga nanti tidak enak sama teman, mau bilang ganti saja, nanti mereka tersinggung, toh saya selalu dihitung sebagai si nothing. Kesal, tapi ya mau apalagi.

Namun, tidak pernah saya sesali kejadian-kejadian yang mengharuskan saya berbuat tidak sesuai kehendak saya.

Kami mewawancarai beberapa orang setelah Mas Sys, yaitu Mas Adi Bing Slamet, Mas Rano Karno, dan Mbak Dinda(kalau nggak salah namanya ini, saya tidak mengenalnya, bahkan saat wawancara saya tidak tahu namanya :P, baru tahu saat teman saya mulai tanya-tanya ke dia dan menyebut namanya). Semua jawaban, dari Mas Sys sampai Mbak Dinda, tidak ada yang mengatakan tidak wow sama Mas Benyamin. Mbak Dinda yang masih muda pun juga mengapresiasi karya Mas Ben yang melegenda, walau tidak pernah ngobrol langsung. Kalau Mas Adi dan Mas Rano, keduanya sudah dekat dengan Mas Ben sejak kecil, karena rumahnya dekat, sama-sama di Kemayoran. Mas Sys sendiri mengunjungi makam Mas Ben sebelum membuat acara ini. Mereka semua bilang kalau Mas Ben itu multi-talented, nyanyi bisa biarpun suara tidak begitu merdu, jadi sutradara bisa, jadi aktor bisa, yah apapun bisalah, dan yang penting banget Mas Ben itu, menurut mereka adalah orang yang sederhana.

Kata Mas Rano Karno, Mas Ben makan bakso dipinggir jalan, seolah-olah dia cuma orang biasa, padahal dia adalah orang yang sangat terkenal, walaupun dia bawa mercy ke pinggir jalan itu. Dia itu tidak sadar dirinya orang besar. Dia hanya merasa menjadi orang besar ketika orang-orang mengerumuni dia. Nggak tahu deh ini cuma contoh kesederhanaan Mas Ben atau pernah kejadian seperti ini. Tapi ini yang dikatakan Mas Rano Karno.

Ketika kami selesai wawancara dan hendak meninggalkan gedung itu, saya tatap spanduk yang dipasang di tengah tembok di ruang depan, saya ingin menonton acara di auditorium sesungguhnya, tapi karena yang lain mau pulang, tentu tidak bisa. Saya sempat mendengar lagu Jali-jali dari dalam ruangan, saya ikut bergumam, dan saya sadar saya telah disentuh oleh budaya yang dilestarikan oleh Mas Ben. Keluar dari gedung itu, baru satu langkah, saya ingin menangis, namun malah saya tanya kepada teman-teman, "Ada yang tertarik pada hal-hal jadul ini?" Mereka semua bilang mereka tidak begitu tertarik dan lebih tertarik ke hal yang lain-lain. Saya mengangguk dan tersenyum sekilas.

Saya menengok ke dalam gedung sekali lagi sebelum akhirnya saya berpikir, "Saya sudah mencintai seni milikmu sekarang dan saya sangat menghargai kepedulianmu dalam hal seni, sekalipun saya bukan orang Betawi. Tapi, saya adalah seorang pecinta kesenian tradisional, sama seperti dirimu. Namun, saya tidak dapat menyuarakannya sepertimu. Terima kasih atas kebaikanmu melestarikan seni ini sehingga saya bisa melihat hasil dari jerih payahmu. Saya sudah jatuh cinta padamu, sang legenda."

Ya, seni miliknya yang berbeda dan tiada duanya telah membuat saya jatuh cinta kepada dirinya, bahkan setelah ia berpulang kepada-Nya!



No comments:

Post a Comment